Saturday, July 12, 2025
HomeOpiniPKB, Panggung Diplomasi Budaya, Merawat Tradisi, Memuliakan Semesta Raya

PKB, Panggung Diplomasi Budaya, Merawat Tradisi, Memuliakan Semesta Raya

NARASIBALI.COM, DENPASAR – Masyarakat Bali sangat tinggi mencintai budaya dan kesenian yang ada di Indonesia, khususnya Bali. Tak heran kalau Menteri kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menegaskan komitmennya terhadap pelestarian budaya sebagai bagian dari identitas dan kekuatan politik kebudayaan Indonesia. Pesta Kesenian Bali (PKB) bukan sekadar pesta. Diakui, PKB adalah panggung politik kebudayaan yang memperlihatkan bagaimana Bali, lewat seni dan tradisi, berbicara ke mancanegara.

“Bali adalah jantung kebudayaan nasional. PKB bukan sekadar festival, ini panggung diplomasi budaya yang strategis,” ujar Fadli Zon singkat pada pembukaan PKB ke-47 di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) Bajra Sandhi, Denpasar, Sabtu (21/6/2025).

Dengan iringan tabuh lima kali pukulan pada kulkul (kentongan-red), Menbud Fadli Zon membakar semangat ribuan seniman yang ambil bagian dalam PKB 2025. Deru Gong Gede, Semar Pegulingan, dan Gamelan Adhi Merdangga pun bergema, membuka penampilan Institut Seni Indonesia (ISI) Bali yang mempersembahkan Tari Siwa Nataraja—ikonisasi semangat PKB.

Menbud Fadli Zon mengakui dan merasakan adanya tekad dan semangat bagi Bali untuk mewarnai peradaban Indonesia dan dunia. Bali sangat setia merawat tradisi dengan memuliakan alam melalui tema-tema yang inspiratif.

Pernyataan Menbud Fadli Zon tersebut tentu tidak mengandung hal-hal baru yang esensial jika harus ditunjukan pada eksistensi PKB. Sebab sejatinya salah satu tujuan PKB memang seperti itu. Namun, di satu sisi, pernyataan itu bolehlah dianggap sebagai pengakuan untuk kesekian kalinya dari para tokoh dan pejabat penting di negeri ini bahwa betapa PKB memang sarat dengan identitas sebagai instrumen pengharmonis sendi-sendi bangsa dengan semangat gotong royong.

Harus diakui pula, pernyataan sekaligus pengakuan senada itu untuk PKB bukanlah hal klise, namun tetap sebagai kontinuitas pengingat untuk generasi penerus bangsa ini. PKB harus menjadi pijakan untuk merawat tradisi dengan memuliakan melalui konsep Tri Hita Karana (THK) yakni memulai Tuhan, memuliakan lingkungan dan menghargai antar sesama. Sehingga terjadi keharmonisan untuk mewujudkan Bali Era Baru dengan selalu mengadakan evaluasi untuk sebuah perubahan. 

Dalam perjalanannya, nilai sejarah penyelenggaraan PKB sebagai wahana pembinaan, pelestarian, serta pengembangan seni budaya Bali justru pada praktiknya kian berkembang menjadi nilai-nilai universal yang-langsung maupun tidak langsung sarat dengan pesan-pesan luhur tentang gotong-royong dengan menghargai perubahan. Bahwa lewat PKB, dengan ragam aktivitas seni budayanya, tersurat pesan-pesan luhur tentang kerukunan dan semangat gotong-rotong tersebut sejatinya bisa disemai, ditebar, dan disebar ke segala penjuru.

PKB ke-47 tahun 2025 mengusung tema “Jagat Kerthi Lokahita Samudaya (Harmoni Semesta Raya)”, yang dimaknai sebagai upaya nyata mewujudkan keharmonisan antara Bhuana Agung (makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos) demi keseimbangan, keharmonisan, dan tatanan kehidupan yang gemah ripah loh jinawi kang tata tentrem kertha raharja.

Tema PKB tahun ini merupakan bagian terakhir dari Sad Kerthi, di mana PKB tahun 2024 mengusung tema “Jana Kerthi Paramaguna Wikrama”, tahun 2023 bertema “Segara Kerthi: Prabhaneka Sandhi”, tahun 2022 bertema “Danu Kerthi: Huluning Amreta”, tahun 2021 bertema “Purna Jiwa: Prananing Wana Kerthi”, dan tahun 2020 bertema “Atma Kerthi: Penyucian Jiwa Paripurna”.

Materi PKB tahun ini masih sama seperti sebelumnya, yaitu delapan materi pokok yang meliputi Peed Aya (Pawai), Rekasadana (Pergelaran), Utsawa (Parade), Wimbakara (Lomba), Kandarupa (Pameran), Kriyaloka (Lokakarya), Widyatula (Sarasehan), dan Adi Sewaka Nugraha (Penghargaan Pengabdi Seni).

Sementara itu, kegiatan budaya yang dirangkaikan dalam pelaksanaan PKB mencakup penyelenggaraan Bali World Cultural Celebration (Perayaan Budaya Dunia di Bali) dan Jantra Kebudayaan Bali (Pekan Kebudayaan Daerah).

PKB dihelat selama satu bulan penuh, mulai dari 21 Juni hingga 19 Juli 2025. PKB ke-47 digelar bertepatan dengan masa libur sekolah, menjadikannya momen ideal bagi wisatawan dan warga lokal untuk menikmati ragam seni tradisi, pertunjukan kontemporer, hingga karya inovatif lintas generasi.

Tak hanya sekadar festival, PKB telah menjadi ruang ekspresi budaya yang membangun dialog antara pelaku seni dan masyarakat, sekaligus ajang regenerasi seniman muda Bali.

Lalu bagaimana PKB tahun 2025 dikaitkan esensi budaya dan pentingnya regenerasi? Mengutip pandangan budayawan dan maestro tari Bali, Prof. Dr. I Wayan Dibia menjelaskan PKB bukan hanya pergelaran seni, melainkan sarana penguatan budaya dan ekspresi identitas lokal.

Pawai pembukaan atau Peed Aya menjadi ruang penting bagi alih generasi, dengan melibatkan anak-anak muda secara aktif. Tema PKB 2025, Seni Semesta Raya, menjadi dasar kurasi setiap kontingen. “Kita batasi agar tidak seragam, tapi tetap memberi ruang kreativitas sesuai karakter masing-masing desa,” jelasnya.

Dibia juga menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara seni sakral dan seni pertunjukan. Ia mencontohkan seni wewalian, bentuk seni sakral yang dikembangkan secara teatrikal, namun tetap menjaga roh tradisi.

Dalam visi kuratorialnya, Dibia mendorong keseimbangan antara pelestarian (60%) dan pengembangan (40%) seni. “Budaya luar boleh masuk, tapi harus diolah menjadi bagian dari jati diri Bali,” tegasnya.

Ia juga menilai meningkatnya minat internasional terhadap PKB sebagai peluang, bukan ancaman. PKB dapat menjadi ajang budaya global yang tetap berpijak pada nilai lokal. “Lewat PKB, saya menyaksikan langsung regenerasi yang berjalan penuh harapan,” tegasnya.

Sejarah PKB

Melihat sejarah dan belakang PKB, dengan legalitas dasar penyelenggaraan sebagaimana diatur dalam Perda Bali Nomor 7 Tahun 1979, PKB yang digagas Gubernur Bali Ida Bagus Mantra memang diplot untuk digelar setiap tahun selama sebulan pada rentang pertengahan Juni hingga Juli, bersamaan dengan masa liburan sekolah.

Khusus pada gelaran perdananya di tahun 1979, PKB malah dihelat dua bulan penuh, 20 Juni sampai 23 Agustus 1979. Berdasarkan tujuan utama penyelenggaraannya sebagai wahana pembinaan, pelestarian, serta pengembangan seni budaya Bali, dengan segala persoalan plus-minusnya, PKB pun tergelar rutin tiap tahun hingga tahun 2023 ini telah memasuki tahun ke-45.

PKB merupakan sebuah perhelatan kesenian yang terlama di Indonesia dengan usia sudah 47 tahun. Festival kesenian dalam PKB ini menghadirkan berbagai jenis kesenian yang diimplementasikan oleh perwakilan setiap kabupaten di Bali.

PKB adalah festival kesenian yang terlama dari usia penyelenggaraannya mampu bertahan hingga hampir setengah abad dengan durasi terpanjang yang pernah diadakan di Indonesia. PKB pertama kali diprakarsai oleh Gubernur Bali Ida Bagus Mantra yang diadakan 47 tahun lalu tepatnya pada 1979. Lahirnya PKB terinspirasi dari pesta rakyat untuk mementaskan hasil karya cipta, seni, aspirasi, serta apresiasi seni dan budaya masyarakat di Bali.

Sepanjang catatan sejarah, perjalanan PKB selalu dibuka oleh pejabat tinggi negara. Namun, hanya pada PKB yang pertama saja dibuka oleh mendiang Ida Bagus Mantra yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali sekaligus sebagai penggagas PKB. Selebihnya, pembukaan PKB dilaksanakan oleh Menteri, Wakil Presiden, Presiden, dan bahkan Ibu Negara.

Secara filosofis PKB juga menjadi media dan sarana untuk memotivasi masyarakat Bali untuk menggali, menemukan, dan menampilkan seni budaya serta meningkatkan kesejahteraan kepada masyarakat.

Penggalian dan pelestarian seni budaya yang dimaksud meliputi filosofi, nilai-nilai luhur dan universal, konsep-konsep dasar, warisan budaya baik benda (bukan yang bernilai sejarah tinggi), ilmu pengetahuan serta seni sebagai representasi peradaban.

Selain itu, pengembangan kesenian melalui kreasi, inovasi, adaptasi budaya ini diharapkan agar tetap hidup serta bersifat berkelanjutan dalam konteks perubahan waktu dan zaman serta lingkungan yang selalu berubah-ubah.

PKB bertujuan mewadahi masyarakat Bali untuk menuangkan kreativitasnya dalam dunia kesenian Bali seperti pementasan musik tradisional, tarian khas, dan lain-lain. Di samping itu, dengan adanya PKB masyarakat Bali diharapkan untuk menghasilkan karya cipta seni Bali yang baru dan tidak akan termakan oleh waktu walaupun zaman akan selalu berkembang.

Hal ini sesuai dengan konsep Gubernur Bali, Wayan Koster. Gubernur Wayan Koster menyampaikan bahwa PKB merupakan wahana pelestarian dan pengembangan seni tradisi Bali yang begitu kaya, unik, dan unggul.

Penyelenggaraan PKB ke-47 ini telah dilakukan pembaharuan dan penambahan materi baru. Tak hanya itu, perayaan budaya ini dirangkai pula dengan Bali World Cultural Celebration (BWCC) dan Jantra Tradisi Bali—dua event strategis yang menempatkan Bali sebagai simpul peradaban dunia. 

“PKB telah menjadi wahana berkelas dunia yang membahagiakan dan membanggakan masyarakat Bali. Pembaruan PKB merupakan upaya dalam implementasi visi pembangunan Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana Menuju Bali Era Baru,” ujar Gubernur Bali Wayan Koster.

Kritik PKB

Perhelatan tahunan bagi para seniman, penggiat seni ini pun yang tiap kali penyelenggaraannya menyedot dana APBD hingga miliaran rupiah. Perjalanan PKB tidaklah berjalan begitu mulus. Artinya, di tengah sanjungan yang datang dari berbagai kalangan – termasuk pujian bahwa di Indonesia, hanya Provinsi Bali-lah satu-satunya provinsi di Indonesia yang mampu rutin menggelar pesta kesenian akbar setiap tahun, sebulan penuh hingga pengakuan di level dunia, PKB pun tak luput kritik.

PKB dikritik sebagai event yang mubazir, boros, perlu dievaluasi, penyelengaraannya jangan hanya terpusat di Denpasar tapi sebaiknya disebar atau digilir ke semua kabupaten, tampilannya hanya itu-itu saja alias monoton. Sehingga tuduhan PKB kini tak ubahnya pasar malam alias pameran dagang, bukan pesta seni lagi.

Sebagian kritik tersebut memang terlontar atas dasar rasa emosional semata dan nyaris tanpa logika. Perihal kritik bahwa tampilan PKB tiap tahun hanya itu-itu saja alias monoton, misalnya, faktanya sungguh tidak demikian. Kesenian Bali yang ditampilkan tiap tahun memang terkesan itu-itu saja, ya lantaran inventarisasi dan pakem seni tradisi Bali memang sedemikian.

Namun, bukankah inovasi, style, tema, kemasan, dan (terutama) para generasi pelakunya berubah-ubah? Bukankah kesempatan kepada generasi muda untuk mendalami sekaligus membawakan kesenian tradisi atau leluhurnya harus diberikan secara berkesinambungan dan terus menerus?

Bukankah pada tiap gelaran PKB ada saja generasi baru, bahkan generasi muda yang menarikan Arja, Legong Keraton hingga Gambuh, menabuh Gender hingga Selonding, sampai jadi dalang Wayang Kulit? Ini sebagaai bentuk nyata, bahwa PKB menelorkan generasi dan penyelamat seni tradisi yang selalu terawat dari ‘sebun-sebun sebi’ yang ada di pelosok wilayah di Bali.

Kita seakan lupa bahwa di Bali semua ada: jutaan manusia, ribuan sekaa, ribuan seniman, ribuan tradisi, dan ribuan budaya. Kalau kita mengerti kondisi itu, mengapa kita meragukan terhadap eksistensi PKB. Seakan-akan kita tidak percaya terhadap pembinaan, pelestarian dan keteladanan para pendahulu. Apalagi Pemprov Bali melalui Dinas Kebudayaan yang selalu konsisten melakukan pendataan dan pembinaan sehingga memelorkan seniman-seniman muda dan sekaa terus bangkit.

Maka, pernyataan Menbud Fadli Zon benar adanya. Bahwa Bali adalah jantung kebudayaan nasional. Pasalnya, PKB bukan sekadar festival, ini panggung diplomasi budaya yang strategis. Bahwa seni dan budaya merupakan salah satu instrumen sebagai panggung diplomasi budaya, merawat tradisi, dan memuliakan Alam. Dan PKB adalah sebuah ikon event seni budaya yang sudah teruji keberadaannya. Mari dan saatnya terus meneladani para pendiri, pelestari dan penjaga seni budaya untuk sebuah peradaban. tha/nbc

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -


Most Popular

Recent Comments