NARASIBALI.com, JEMBRANA – Menyadari pentingnya pemahaman Kode Etik Jurnalistik dan UU Nomor 40/1999 tersebut, Pemkab Jembrana melalui Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda Kabupaten Jembrana menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Jurnalistik dengan tema etika Jurnalistik dan Media Relations di Desa Candikuning Tabanan Bali, pada 3-4 September 2025.
Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman dan kesadaran para jurnalis mengenai pentingnya menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan UU Nomor 40/1999, dalam menghadapi tantangan penyebaran informasi yang semakin cepat dan tak terkendali.
Disisi lain, Bimtek ini juga bertujuan menambah wawasan dan literasi bagi masyarakat, tentang cara-cara professional berinteraksi dengan media untuk menekan sekecil mungkin terjadinya konflik atau sengketa pers.
Seluruh wartawan yang tergabung dalam komunitas JJJ (Jaringan Jurnalis Jembrana), baik media cetak, online dan radio yang ada di Jembrana terlibat dalam Bimtek tersebut, termasuk staf bagian Prokopim Pemkab Jembrana, yang memiliki tupoksi dalam penyebarluasan informasi dilingkup Pemkab Jembrana. Materi kedua juga diselenggarakan kegiatan building team dengan tujuan penguatan kerjasama.
Dibuka secara langsung oleh Asisten Administrasi Umum Setda Jembrana, I Made Dwi Maharimbawa, didampingi Kabag Prokopim Jembrana, I Wayan Putra Mahardika, dan Kabid Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Diskominfo Jembrana, I Wayan Agus Ariawan.
Salah seorang Narasumber, yakni Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bali, Emanuel Dewata Oja (Edo) tampil membawakan Materi “Media Relations, Kajian Hukum Pers”.
Dalam pemaparannya, Edo mengajak peserta Bimtek untuk membedah beberapa kasus sengketa Pers yang kerap terjadi. Ia mengangkat kasus keributan antara wartawan dengan Pegawai Kantor BPN di sebuah Kabupaten di Sumatera Utara baru-baru ini, serta kasus sengketa Pers antara Pemkab Tabanan dengan 17 Media online di Bali, yang berujung pengaduan ke Dewan Pers beberapa bulan lalu.
Diungkapkan, terdapat dua masalah yang kerap dihadapi dalam sengketa Pers. Pertama, masyarakat minim pengetahuan dan literasi tentang mekanisme kerja media, sehingga sering gamang menghadapi wartawan. Tetapi, ketika wartawan mempublikasi tulisannya muncullah masalah.
Kedua, tidak sedikit wartawan yang tidak miliki pengetahuan memadai tentang etika jurnalistik maupun cara-cara professional mendapatkan informasi untuk diberitakan. Hal ini diikuti dengan rendahnya ketaatan menggunakan narasi tekstual berita sesuai Kode Etik Jurnalistik.
Dikatakan, pelanggaran Kode Etik Jurnalistik mayoritas tentang pasal 1, pasal 3 dan pasal 4 Kode Etik serta pasal 7 UU Nomor 40/1999, yaitu terkait ketidakjelasan nara sumber dan verifikasi informasi, karena banyak menggunakan sumber anonim tanpa validasi atau verifikasi.
Berikut, bahasa tidak netral dan cenderung emotif sehingga tidak bisa membedakan mana opini mana fakta. Tidak mematuhi Cover both side dan ruang Hak Jawab, struktur berita tidak jelas dan tidak fokus pada sau isu serta kekurangan bukti fisik dan data pendukung yang memadai.
“Mohon maaf kepada teman-teman wartawan. Dalam beberapa kesempatan, saya cukup keras menyampaikan pernyataan, bahwa seseorang yang tidak punya pengetahuan jurnalistik, tidak layak disebut wartawan dan tidak layak melakukan tugas-tugas jurnalistik. Dari pada beritanya menimbulkan masalah, mending belajar dululah,” kata Edo yang juga asesor Uji Kompetensi Wartawan dan anggota Dewan Kehormatan PWI Prov. Bali.
Dikatakan Edo, menurut catatan Dewan Pers, 80 persen pengaduan sengketa pers yang masuk Dewan Pers adalah pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Meski data ini cukup mencengangkan, namun Edo justru bersyukur karena dengan tingginya jumlah pengaduan ke Dewan Pers, membuktikan bahwa masyarakat paham tentang mekanisme penyelesaian sengketa Pers yang mutlak diproses melalui UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
“Saya agak terganggu kalau ada masyarakat merespon sengketa Pers dengan melayangkan somasi. Somasi itu sangat mencederai kebebasan Pers. Tanya saja para wartawan, gimana kalau berita mereka disomasi. Hampir semua menjawab terganggu secara psikis dan berpengaruh pada kinerja. Itu mencederai kebebasan Pers. Padahal memelihara kebebasan Pers adalah tugas seluruh masyarakat. Sebab jalur resmi penyelesaian sengketa Pers sudah disiapkan yakni melalui UU No. 40 tahun 1999,” ujar Edo.
Diakhir pemaparannya, Edo juga menyinggung tentang implementasi pasal 8 UU no.40 tahun 1999, yang menurutnya sangat tidak memadai sesuai isi yang terkandung dalam pasal tersebut. Pasal 8 UU No. 40 tahun 1999, yang menyatakan bahwa dalam menjalankan profesinya, wartawan dilindungi Undang-Undang.
Pasal ini menurut Edo sangat bermasalah. Memang secara harafiah mengakomodir perlindungan fisik dan perlindungan terhadap karya jurnalistik, tetapi fakta di lapangan tidak demikian.
“Mari kita jujur melihat apa yang terjadi di lapangan. Ada aparat merampas kamera, HP dan menggeledah tas wartawan. Ada yang melarang wartawan mengambil gambar atau video di area publik, bahkan ada wartawan yang alami kekerasan fisik. Lantas apa punishment terhadap pelaku berdasarkan pasal 8 tersebut? Faktanya tak seindah yang kita bayangkan,” tutupnya. tri/ril/nbc